Shalat adalah oleh-oleh Rasulullah dalam ber-Isra' Mi'raj, maka dari itu bagaimanakah kita menikmati dan mengerti hakikat shalat itu ?
Sekiranya ku menjadi Muhammad takkan sudi ku beranjak ke Bumi setelah sampai di 'Arsy -Abdul Quddus, Sufi Gonggoh-
Seorang Musafir berhenti di sebuah Masjid. Ia lelah, gerah, pegal, dan pening. Terlebih sepanjang jalan ia merasa sepi di tengah ramai, dan asing di tengah khalayak. Di Masjid itu ia menemukan ketenangan. Wudhunya serasa membasuh seluruh jiwa raga. Ketika air itu menyapu, ia seperti melihat noktah-noktah hitam dosanya luntur berleleran, mengalir hanyut bersama air. Dalam shalatnya ia benar-benar merasa berdiri di hadapan Sang Pencipta. Tiap bacaannya seolah dijawab Oleh-Nya. Ia merasakan getar keagungan. Ini pertama kalinya ia bisa terisak-isak dalam sujudnya. Hatinya diselimuti perasaan tentram, sejuk, penuh makna. Dia merasakan sebuah ekstase. Saat ia melewati Masjid, ia memang ingin sekali shalat di sana. Ia rindu kekhusyu'annya. Masjid ini memancarkan keagungan. Pilar-pilarnya tegak kokoh, berlapis marmer kelabu. Kolom-kolom setengah lingkarannya manis dengan ukiran geometris. Lampu-lampunya remang dibingkai logam mengilat bersegi delapan. Lantainya lembut menyambut tiap sujud, dingin menyejukkan khas granit hitam.
Ia memilih shalat di balik tiang berbalut kekuningan yang berukir ayat suci. Ia mencoba menghayati shalatnya. Tetapi aneh. Kali ini ia tidak menemukan getar itu. Ia kehilangan kekhusyu'annya. Benar. Ia kehilangan semua perasaan itu. Tak ada ekstase. Tak ada kelezatan ruhani. Tak setitik pun air matanya sudi meleleh. Dengan sesal ia menguluk salam. Ke kanan, lalu ke kiri. Dan matanya menumbuk terjemah sebuah kaligrafi di dinding selatan. Terbaca olehnya, "Barangsiapa mencari Allah, ia mendapatkan kekhusyu'an. Barangsiapa ia mengejar kekhusyu'an, ia kehilangan Allah."
Andai kau lihat kami duhai 'Abid di Haramain
Kau akan tahu dalam ibadah kau hanya bermain
Pipimu basah oleh airmata,
Leher kami telah bersimpah dengan darah
-'Abdullah ibn Al-Mubarak-
Alangkah malang para penyembah kekhusyu'an. Khusyu' menjadi tujuan, bukan sarana menuju Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Maka perhatian utama dalam shalat terletak pada bagaimana caranya untuk khusyu', atau setidaknya terlihat khusyu'. Aduhai, andai kau tahu bagaimana Sang Nabi dan sahabat-sahabatnya shalat. Mereka khusyu' karena shalat benar-benar perhentian dari aktivitas maha menguras di sepanjang jalan cinta para pejuang. Mereka khusyu' karena payahnya diri dan kelelahan yang membelit melahirkan rasa kerdil dan penghambaan sejati.
Seperti para penyembah Al-Masih merumit-rumitkan trinitas ketuhanan, berhala kekhusyu'an juga sering dirumit-rumitkan. Tak salah sebenarnya mengutip kisah bahwa 'Ali ibn Abi Thalib meminta dicabut panahnya ketika beliau shalat. Agar sakitnya tak terasa karena khusyu' dalam shalatnya. Tak salah juga meneladani 'Abbad ibn Bisyr yang tetap melanjutkan shalatnya meski satu demi satu panah mata-mata musuh menancap di tubuhnya. Tapi apakah hanya itu yang disebut khusyu' ?
Sang Nabi adalah manusia paling khusyu'. Dan alangkah indah kekhusyu'annya. Kekhusyu'an yang seringkali mempercepat shalat ketika terdengar olehnya tangis seorang bayi. Atau memperpendek bacaan shalat saat menyadari kehadiran seorang jompo dalam jama'ahnya. Kekhusyu'an yang tak menghalangi menggendong Umamah binti Abil 'Ash atau Al-Hasan ibn 'Ali dalam berdirinya dan meletakkan mereka ketika sujud. Kekhusyu'an yang membuat sujudnya begitu panjang karena Al-Husain ibn 'Ali main kuda-kudaan di punggungnya.
Sahabat, inilah jalan cinta para pejuang. Khusyu' dan gelora kenikmatan ruhani hanyalah hiburan dan rehat, tempat kita mengisi kembali perbekalan dan melepas penat. Ini adalah jalan cinta para pejuang. Bukan jalan para pengejar kenikmatan ruhani, hingga terus menerus mengulang Takbiratul Ihram sampai sang imam ruku'. Ini bukan jalan cinta para penikmat kelaparan yang ketakutan berkumur saat puasa tapi diam saja menyaksikan kedzaliman. Juga bukan jalan penikmat Ka'bah yang kecanduan berhaji, sementara fakir miskin leleh mengetuk pintunya yang terkunci.
Senarai sejarah memberi pelajaran tentang para pengejar kenikmatan ruhani. Mereka jauh terlempar dari jalan cinta ini. Ada yang merasa diri menjadi mu'min yang baik; karena bisa menangis saat shalat, bisa terharu saat membagi zakat, bisa berdzikir hingga hilang kesadaran saat berpuasa, atau berhaji setahun sekali; terbuta mereka dari dunia Islam yang serak memanggil-manggil.
Inilah mereka yang selalu berbicara agama sebagai urusan pribadi. Urusan pribadi untuk menikmati kesyahduan spiritual. Bagi mereka, alangkah nikmatnya shalat khusyu' di atas sajadah mahal, dalam naungan pendingin. Dengan setting pemandangan yang bisa diatur diganti-ganti. Khusyu' adalah menikmati bacaan imam bersertifikat dari audio premium, dalam hembusan harum parfum aromaterapi. Jauh di sana, di jalan cinta para pejuang. Sang Nabi shalat di sela-sela jihad menegakkan syari'at. Dengan debu, dengan darah, dengan lelah, dengan payah.
Yang lain, mencari pelarian dari tekanan dunia yang menghampir. Menikmati rasa tentram dari dzikirnya, rasa melayang karena laparnya, rasa syahdu karena gigil tubuhnya. Ia bertapa dalam pakaian campingnya, hidup dalam kefakirannya, lalu merasa menjadi makhluq yang paling dicintai Allah. Tapi wajahnya tak pernah memerah ketika syari'at Allah dilecehkan. Tak pernah dia merasa terluka melihat kedzaliman. Tak pernah hatinya tergetar melihat nestapa sesama. Orang-orang semacam sufi dari ganggoh. Dialah si burung Onta yang merasa aman saat membenamkan kepalanya ke dalam pasir. Padahal tubuhnya terguguk tepat di depan pelupuk pemburu.
Ektase. Kenikmatan ruhani. Kekhusyu'an. Jangan kau kejar rasa itu. Dia bukan tuhanmu. Dan tak hanya seorang muslim yang beroleh kemungkinan merasakan ektase semacam itu. Tanyakan pada orang beragama Buddha, penganut Zen, Tao, atau praktikkan Yoga. Merekapun mengalaminya lewat meditasi dan rerupa puja. Seorang Nasrani dari Ordo Fransiskan yang melarat merasakannya dalam pengembaraan bertelanjang kaki ala miskin kristus. Seorang Nasrani dari Ordo Benekditin yang mewah menikmatinya dalam mengoleksi relik-relik suci peninggaran para bapa gerejawi.
Bukan itu.
Bukan itu yang kita cari.
Di jalan cinta para pejuang,
Berbaktilah kepada Allah dalam kerja-kerja besar Dakwah dan Jihad. Menebar kebajikan, menghentikan kebiadaban, menyeru kepada Iman. Larilah hanya menuju-Nya. Meloncatlah hanya ke Haribaan-Nya. Walau duri merantaskan kaki. Walau kerikil mencacah telapak. Sampai engkau lelah. Sampai engkau payah. Sampai keringat dan darah bertumpah. Maka kekhusyu'an akan datang kepadamu ketika engkau beristirahat dalam shalat. Saat kau merasakan puncak kelemahan diri di Hadapan Yang Maha Kuat. Lalu kaupun pasrah berserah...
Saat itulah, engkau mungkin melihat-Nya, dan Dia pasti melihatmu...
-Jalan Cinta Para Pejuang-
- Sallim A. Fillah-
Read More --►
Sekiranya ku menjadi Muhammad takkan sudi ku beranjak ke Bumi setelah sampai di 'Arsy -Abdul Quddus, Sufi Gonggoh-
Seorang Musafir berhenti di sebuah Masjid. Ia lelah, gerah, pegal, dan pening. Terlebih sepanjang jalan ia merasa sepi di tengah ramai, dan asing di tengah khalayak. Di Masjid itu ia menemukan ketenangan. Wudhunya serasa membasuh seluruh jiwa raga. Ketika air itu menyapu, ia seperti melihat noktah-noktah hitam dosanya luntur berleleran, mengalir hanyut bersama air. Dalam shalatnya ia benar-benar merasa berdiri di hadapan Sang Pencipta. Tiap bacaannya seolah dijawab Oleh-Nya. Ia merasakan getar keagungan. Ini pertama kalinya ia bisa terisak-isak dalam sujudnya. Hatinya diselimuti perasaan tentram, sejuk, penuh makna. Dia merasakan sebuah ekstase. Saat ia melewati Masjid, ia memang ingin sekali shalat di sana. Ia rindu kekhusyu'annya. Masjid ini memancarkan keagungan. Pilar-pilarnya tegak kokoh, berlapis marmer kelabu. Kolom-kolom setengah lingkarannya manis dengan ukiran geometris. Lampu-lampunya remang dibingkai logam mengilat bersegi delapan. Lantainya lembut menyambut tiap sujud, dingin menyejukkan khas granit hitam.
Ia memilih shalat di balik tiang berbalut kekuningan yang berukir ayat suci. Ia mencoba menghayati shalatnya. Tetapi aneh. Kali ini ia tidak menemukan getar itu. Ia kehilangan kekhusyu'annya. Benar. Ia kehilangan semua perasaan itu. Tak ada ekstase. Tak ada kelezatan ruhani. Tak setitik pun air matanya sudi meleleh. Dengan sesal ia menguluk salam. Ke kanan, lalu ke kiri. Dan matanya menumbuk terjemah sebuah kaligrafi di dinding selatan. Terbaca olehnya, "Barangsiapa mencari Allah, ia mendapatkan kekhusyu'an. Barangsiapa ia mengejar kekhusyu'an, ia kehilangan Allah."
Andai kau lihat kami duhai 'Abid di Haramain
Kau akan tahu dalam ibadah kau hanya bermain
Pipimu basah oleh airmata,
Leher kami telah bersimpah dengan darah
-'Abdullah ibn Al-Mubarak-
Alangkah malang para penyembah kekhusyu'an. Khusyu' menjadi tujuan, bukan sarana menuju Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Maka perhatian utama dalam shalat terletak pada bagaimana caranya untuk khusyu', atau setidaknya terlihat khusyu'. Aduhai, andai kau tahu bagaimana Sang Nabi dan sahabat-sahabatnya shalat. Mereka khusyu' karena shalat benar-benar perhentian dari aktivitas maha menguras di sepanjang jalan cinta para pejuang. Mereka khusyu' karena payahnya diri dan kelelahan yang membelit melahirkan rasa kerdil dan penghambaan sejati.
Seperti para penyembah Al-Masih merumit-rumitkan trinitas ketuhanan, berhala kekhusyu'an juga sering dirumit-rumitkan. Tak salah sebenarnya mengutip kisah bahwa 'Ali ibn Abi Thalib meminta dicabut panahnya ketika beliau shalat. Agar sakitnya tak terasa karena khusyu' dalam shalatnya. Tak salah juga meneladani 'Abbad ibn Bisyr yang tetap melanjutkan shalatnya meski satu demi satu panah mata-mata musuh menancap di tubuhnya. Tapi apakah hanya itu yang disebut khusyu' ?
Sang Nabi adalah manusia paling khusyu'. Dan alangkah indah kekhusyu'annya. Kekhusyu'an yang seringkali mempercepat shalat ketika terdengar olehnya tangis seorang bayi. Atau memperpendek bacaan shalat saat menyadari kehadiran seorang jompo dalam jama'ahnya. Kekhusyu'an yang tak menghalangi menggendong Umamah binti Abil 'Ash atau Al-Hasan ibn 'Ali dalam berdirinya dan meletakkan mereka ketika sujud. Kekhusyu'an yang membuat sujudnya begitu panjang karena Al-Husain ibn 'Ali main kuda-kudaan di punggungnya.
Sahabat, inilah jalan cinta para pejuang. Khusyu' dan gelora kenikmatan ruhani hanyalah hiburan dan rehat, tempat kita mengisi kembali perbekalan dan melepas penat. Ini adalah jalan cinta para pejuang. Bukan jalan para pengejar kenikmatan ruhani, hingga terus menerus mengulang Takbiratul Ihram sampai sang imam ruku'. Ini bukan jalan cinta para penikmat kelaparan yang ketakutan berkumur saat puasa tapi diam saja menyaksikan kedzaliman. Juga bukan jalan penikmat Ka'bah yang kecanduan berhaji, sementara fakir miskin leleh mengetuk pintunya yang terkunci.
Senarai sejarah memberi pelajaran tentang para pengejar kenikmatan ruhani. Mereka jauh terlempar dari jalan cinta ini. Ada yang merasa diri menjadi mu'min yang baik; karena bisa menangis saat shalat, bisa terharu saat membagi zakat, bisa berdzikir hingga hilang kesadaran saat berpuasa, atau berhaji setahun sekali; terbuta mereka dari dunia Islam yang serak memanggil-manggil.
Inilah mereka yang selalu berbicara agama sebagai urusan pribadi. Urusan pribadi untuk menikmati kesyahduan spiritual. Bagi mereka, alangkah nikmatnya shalat khusyu' di atas sajadah mahal, dalam naungan pendingin. Dengan setting pemandangan yang bisa diatur diganti-ganti. Khusyu' adalah menikmati bacaan imam bersertifikat dari audio premium, dalam hembusan harum parfum aromaterapi. Jauh di sana, di jalan cinta para pejuang. Sang Nabi shalat di sela-sela jihad menegakkan syari'at. Dengan debu, dengan darah, dengan lelah, dengan payah.
Yang lain, mencari pelarian dari tekanan dunia yang menghampir. Menikmati rasa tentram dari dzikirnya, rasa melayang karena laparnya, rasa syahdu karena gigil tubuhnya. Ia bertapa dalam pakaian campingnya, hidup dalam kefakirannya, lalu merasa menjadi makhluq yang paling dicintai Allah. Tapi wajahnya tak pernah memerah ketika syari'at Allah dilecehkan. Tak pernah dia merasa terluka melihat kedzaliman. Tak pernah hatinya tergetar melihat nestapa sesama. Orang-orang semacam sufi dari ganggoh. Dialah si burung Onta yang merasa aman saat membenamkan kepalanya ke dalam pasir. Padahal tubuhnya terguguk tepat di depan pelupuk pemburu.
Ektase. Kenikmatan ruhani. Kekhusyu'an. Jangan kau kejar rasa itu. Dia bukan tuhanmu. Dan tak hanya seorang muslim yang beroleh kemungkinan merasakan ektase semacam itu. Tanyakan pada orang beragama Buddha, penganut Zen, Tao, atau praktikkan Yoga. Merekapun mengalaminya lewat meditasi dan rerupa puja. Seorang Nasrani dari Ordo Fransiskan yang melarat merasakannya dalam pengembaraan bertelanjang kaki ala miskin kristus. Seorang Nasrani dari Ordo Benekditin yang mewah menikmatinya dalam mengoleksi relik-relik suci peninggaran para bapa gerejawi.
Bukan itu.
Bukan itu yang kita cari.
Di jalan cinta para pejuang,
Berbaktilah kepada Allah dalam kerja-kerja besar Dakwah dan Jihad. Menebar kebajikan, menghentikan kebiadaban, menyeru kepada Iman. Larilah hanya menuju-Nya. Meloncatlah hanya ke Haribaan-Nya. Walau duri merantaskan kaki. Walau kerikil mencacah telapak. Sampai engkau lelah. Sampai engkau payah. Sampai keringat dan darah bertumpah. Maka kekhusyu'an akan datang kepadamu ketika engkau beristirahat dalam shalat. Saat kau merasakan puncak kelemahan diri di Hadapan Yang Maha Kuat. Lalu kaupun pasrah berserah...
Saat itulah, engkau mungkin melihat-Nya, dan Dia pasti melihatmu...
-Jalan Cinta Para Pejuang-
- Sallim A. Fillah-